SURABAYA - Pada era dimana ponsel dan media sosial menjadi bagian penting dari aktivitas sehari-hari, ruang interaksi manusia perlahan berpindah dari dunia nyata ke dunia digital.
Platform seperti, Instagram, TikTok, Facebook, Twitter dan X memiliki kemudahan untuk berinteraksi, tetapi ironisnya kita justru semakin sulit memahami perasaan satu sama lain.
Fenomena di Masyarakat Mengalami Krisis Empati.
Krisis ini muncul dengan adanya perubahan cara manusia mengekspresikan emosi. Percakapan yang biasanya melibatkan tatap muka kini hanya menjadi emoji, like, atau komentar pendek.
Meski terlihat sebagai bentuk perhatian namun hal itu tidak memuat kedalaman emosional yang dibutuhkan seseorang yang sedang mengalami tekanan. Media sosial memberikan dorongan efisiensi komunikasi tetapi juga mengurangi kehangatan interaksi antar manusia.
Krisis empati juga terlihat dari meningkatnya polarisasi di ruang digital, perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi hal yang wajar kini berubah menjadi ajang saling serang.
Pada kolom komentar mudah sekali untuk pengguna melakukan penghinaan atau merendahkan pendapat orang lain tanpa mempertimbangkan konteks. Tidak adanya kontak mata, bahasa tubuh, atau nada suara membuat seseorang lebih berani berkata kasar, aktivitas seperti ini membuat kita terbiasa menghakimi tanpa memahami.
Gunakan Media Sosial Dengan Bijak
Media sosial yang hanya dianggap sebagai penyebab berbagai masalah juga tidak adil, karena banyak hal positif yang lahir dari platform digital.
Seperti, kampanye kesehatan mental, penggalangan dana, hingga ruang berbagi pengalaman yang memotivasi orang lain. Artinya, persoalan utama bukan terletak pada medianya, tetapi pada cara seseorang menggunakannya.
|
Baca juga:
Prof. Mia Amiati: Mengenal Pohon Pule
|
Media sosial dapat menjadi ruang empati jika penggunanya menyadari pentingnya memahami perasaan orang lain, bukan sekedar mengiginkan validasi.
Membangun empati di ruang digital membutuhkan kepekaan dalam interaksi sehari-hari dengan membiasakan membaca lebih cermat apa yang dibagikan seseorang melalui media sosial, menghadirkan bentuk kepedulian yang lebih personal terhadap seseorang yang sedang menghadapi masalah bukan hanya memberikan komentar singkat namun dengan kehadiran yang lebih nyata meski secara daring dapat memberi dampak yang berbeda.
Melatih diri untuk tidak terburu-buru menilai, ketika menemukan perbedaan pendapat, tanyakan apa yang membuatnya memiliki pandangan tersebut. Krisis empati hanya dapat diatasi setiap pengguna yang mampu memahami , mendengarkan, dan menahan diri.
Pada akhirnya media sosial adalah cermin kehidupan sosial saat ini, jika yang terlihat adalah kemarahan, ejekan, dan sikap acuh artinya kita sedang menghadapi tantangan besar dalam kemanusiaan.
Namun jika kita mampu menjadikan ruang digital sebagai tampat berbagi, memahami dan saling menguatkan maka media sosial dapat menjadi penghubung kembali nilai-nilai empati yang saat kini mulai memudar.
Tumbuhkan Rasa Empati dan Hubungan Harmonis
Nilai-nilai empati memang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, tapi sayangnya banyak yang mulai terlupakan.
Beberapa cara untuk mengembalikan nilai-nilai empati. Saat berbicara dengan orang lain, pastikan mendengarkan dengan baik dan memahami perasaan mereka.
Setiap orang memiliki pengalaman dan perspektif yang unik, jadi hargailah perbedaan itu. Lakukan sesuatu yang baik untuk orang lain. Seperti, membantu teman atau sukarelawan di komunitas. Kenali perasaan dan kebutuhanmu sendiri, sehingga kamu dapat lebih memahami orang lain.
Dengan mengembalikan nilai-nilai empati, kita dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.
Sumber dari :
Tegar Sabilillah Widodo
Mahasiswa Universitas Airlangga

Salsa